Tragedy Waduk Kedung Ombo : Sejarah Teror Yang Di Sponsori Negara
Oleh: Rizky Agn Aditya
Tragedy Waduk Kedung
Ombo. Mungkin istilah ini terdengar lawas oleh beberapa pemerhati masalah
social, politik, ataupun masyarakat awam di wilayah boyolali, sragen, dan
purwodadi. Akan tetapi bukankah sejarah seperti lagu lama yang bila di putar
menimbulkan romantisme tersendiri, serta memiliki banyak makna yang dapat kita
renungkan untuk hidup yang lebih baik. Mengutip perkataan Milan Kundera seorang
novelis Cekoslovakia bahwa “perjuangan manusia melawan penindasan, adalah
perjuangan ingatan melawan lupa”, perkatan tersebut juga diperkuat oleh sebuah
adagium lawas “hanya keledeai yang jatuh kedua kali dilubang yang sama”. Kurang
lebih seperti itulah fungsi sejarah sebagai bahan refleksi untuk melangkah di
hari esok yang lebih baik.
Sejarah waduk kedung
ombo adalah sejarah tragedy multidimensional. Dalam kasus kedung ombo yang
begitu mencuat di tahun 1985 terdapat tragedy dehumanisasi (pelanggaran
kemanusiaan dan stigmatisasi komunis bagi siapapun yang menolak digusur),
tragedy depolitisasi (pembungkaman kritisisme massa dan terror negara terhadap
sipil tak bersenjata), dan tragedy ekonomi (modernisme a’la pemerintahan
colonial dengan uang hutang dari World Bank dan Bank Exim Jepang yang sampai
kini belum terbayar serta perampasan tanah petani yang menjadikan mereka jatuh
dalam kejamnya kemiskinan). Sejarah ini tidak boleh terulang lagi !!! untuk itu
sejarah kedung ombo musti mampu menjadi bahan refleksi nasional dan lokalitas
terutama boyolali sebagai tempat saya tinggal dan tempat tragedy kedung ombo
ini terjadi.
Kasus tragedy Waduk
Kedung Ombo (WKO) awalnya bermula dari rencana pemerintah orde baru untuk
mendirikan bendungan raksasa seluas 6.576 hektar yang areanya mencakup bagian
wilayah di tiga Kabupaten, yaitu; Sragen, Boyolali, dan Grobogan. WKO yang
sedianya diperuntukan membendung lima aliran sungai, dirancang memiliki luas
6576 hektar, terdiri dari wilayah perairan yang sudah ada seluas 2.830 hektar
dan sisanya yang 3.746 hektar akan di dapat melalui “pembebasan” lahan
pertanian masyarakat. Program pembangunan WKO sebenarnya merupakan bagian dari
program pemerintahan orde baru dibawah Soeharto untuk “me-modernisasi”
pembangunan perekonomian Indonesia di sector pertanian melalui pembangunan
infrastruktur irigasi yang sebenarnya juga tidak dibutuhkan oleh masyarakat
mengingat perairan yang sudah ada sebelumnya dirasa telah mencukupi kebutuhan
irigasi petani. Sehingga megaproyek perluasan dan pembangunan bendungan kedung
ombo dirasa hanya menjadi lahan basah korupsi dan bagi-bagi proyek croni-croni
Soeharto. Pendanaan megaproyek ini diambil dari hutang luar negeri senilai USD
156 juta dari Bank Dunia, USD 25,2 juta dari Bank Exim Jepang, dan APBN,
dimulai tahun 1985 sampai dengan tahun 1989.
Pembangunan waduk ini
diwarnai dengan perlawanan yang begitu sengit dari penduduk setempat yang
tanahnya tergusur proyek pembangunan kedung ombo, mereka bersikukuh untuk tetap
mempertahankan rumah dan tanah mereka. Selain berdalih ingin mempetahankan
tanah leluhur ada juga yang merasa bahwa ganti rugi yang diberikan pemerintah sangat
tidak layak. Pada dasarnya mekanisme ganti rugi telah di desain oleh World Bank
senilaiRp.10.000/m, akan tetapi Mendagri Soeparjo Rustam menyatakan ganti rugi
Rp 3.000,-/m, sedangkan yang terjadi dilapangan adalah pemaksaan kepada warga
untuk menerima ganti rugi Rp 250,-/m. Disisi lain warga yang nekat bertahan
mengalami terror yang di sponsori Negara berupa intimidasi dan kekerasan fisik.
Sampai akhirnya pemerintah membuka bendungan beberapa sungai agar rumah dan
tanah warga tenggelam dan tersapu air sehingga mereka mau direlokasi sebagai
transmigran ke Sumatra. Gaya represif Negara dan mekanisme ganti rugi yang
penuh muslihat ini benar-benar sebuah pelecehan terhadap kemanusiaan dan keluar
dari nalar sehat.
Dalam kasus kedung
ombo ini secara faktual Negara telah melakukan teror yang nyata melalui
represife state apparatus (sumber kekerasan fisik Negara : polisi, tentara, dan
aparat lainya) pada warga sipil yang tak bersenjata. Berikut daftar teror yang
terjadi di wilayah Kedung Ombo pada masa konflik menurut keterangan penduduk
desa-desa di sekitar kedung ombo yang mengakibatkan banyak kerugian secara
fisik dan non fisik serta kerugian secara moril dan materiil.
Teror Fisik :
- Penganiayaan pada warga untuk memakasa menyetujui ganti rugi
yang diberikan
- Kurungan badan di LP untuk pemaksaan penerimaan ganti rugi
Teror Secara Moril :
- Ancaman dan intimindasi untuk mendapatkan persetujuan ganti rugi
- Pemaksaan penerimaan ganti rugi yang telah ditetapkan
- Pemberian cap PKI pada para korban yang menolak ganti rugi
- Ancaman kurungan dan denda bagi korban yang menolak ganti rugi
- Pemblokiran areal proyek dan pengisolasian daerah proyek bagi
masyarakat yang menjadi korban atau relawan yang hendak memberi bantuan
- Ancaman penghilangan hak atas tanah yang telah dimiliki tanpa
ganti rugi
- Pemaksaan untuk meninggalkan rumah dengan menaikan elevasi dan
debit air
Kerugian bersifat
material ( harta benda ) :
- Ganti rugi tanah yang terkena proyek dengan Harga Rp.250 yang
tidak sesuai dengan dana pembebasan tanah dari World Bank Rp. 10000/m
- Pengahancuran sawah yang sedang ditanami tanaman produksi oleh
warga
- Hilangnya petilasan Nyi Ageng Serang (situs sejarah perjuangan
Nyi Ageng Serang).
Seperti dalam sebuah
kata-kata bijak jawa bahwa sugih tanpo bondo, ngluruk tanpo bolo, lan menang
tanpo ngasorake (kaya bukan karena harta, berani bukan karena memiliki pasukan,
dan menang tanpa menindas yang kalah) musti menjadi praktek holistik dan
persepsi dalam melihat dunia agar peristiwa anti-kemanusiaan seperti tragedi
WKO 1985, peristiwa anti-Tionghoa tahun 1918 di karanggede, sampai dengan
peristiwa pembantaian PKI tanpa proses peradilan tahun 1966 di gunung botak dan
boyolali kota tidak terulang lagi. Kasus WKO haruslah menjadi bahan renungan
bersama agar kasus WKO tahun 1985 benar-benar menjadi yang terakhir dari sekian
peristiwa anti-kemanusiaan yang pernah terjadi di boyolali. Semua manusia
berhak diadili dalam keadaan nyawa yang melekat diraganya, karena sesungguhnya
tidak pernah ada manusia yang lebih manusiawi dari manusia yang lainya.
Sumber : https://ekosospol.wordpress.com/2011/08/06/tragedy-waduk-kedung-ombo-sejarah-teror-yang-di-sponsori-negara/