Forum Lintas Iman Grobogan Bahas Perempuan, Alam, dan Perjuangan

Forum Lintas Iman Grobogan kembali menggelar diskusi rutin bulanan. Pada pertemuan ketiga ini, forum mengangkat tema “Perempuan, Alam, dan Perjuangan”, dengan menghadirkan sejumlah panelis dari berbagai latar belakang keagamaan dan lingkungan.

Dalam pemaparannya, Bunda Rita—Pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Rita Dwi Lestari—mengajak peserta untuk mengenali alam dan bumi dengan lebih mendalam. Menurutnya, manusia perlu berani mengambil jarak dan memberi jeda dari rutinitas hidup agar bisa merefleksikan berbagai peristiwa alam, termasuk bencana yang kini sering melanda, seperti banjir di Kota Purwodadi dalam beberapa tahun terakhir.

“Bencana banjir yang kini terjadi rutin tiga hingga empat kali setahun tidak semata karena curah hujan tinggi,” ungkapnya. Ia menyoroti kerusakan hutan di daerah hulu yang banyak ditanami jagung serta pendangkalan sungai sebagai faktor utama penyebab banjir, seperti yang terjadi di Desa Cingkrong.

Menurut Bunda Rita, akar dari kerusakan alam tersebut adalah kuatnya pengaruh kapitalisme, di mana orientasi keuntungan besar dari praktik pertanian seringkali mengabaikan dampak ekologis. Namun, ia masih melihat adanya harapan jika manusia mau belajar dan memperbaiki hubungan dengan bumi.

“Kita harus mengambil dari bumi secukupnya. Bumi adalah kehidupan yang saling membutuhkan antara manusia, perempuan, dan alam. Keseimbangan antara memberi dan mengambil harus dijaga,” tegasnya. Ia juga menekankan pentingnya mengembalikan perempuan sebagai aktor yang penuh kasih dan berperan dalam merawat kehidupan.

Menambahkan pandangan itu, Ki Atma, pendeta dari Gereja Kristen Jawa (GKJ), mengutip pesan aktivis lingkungan Kendeng, Kang Gunretno:

Ibu Bumi sampun maringi, Ibu Bumi ojo dilarani, Ibu Bumi kang ngadili.
(Penerjemahan bebas: Ibu Bumi sudah memberi, jangan disakiti, karena Ibu Bumi yang akan mengadili.)

Sementara itu, panelis kedua, Wahyu Dwi Pranata, aktivis lingkungan dari Grobogan Maju, menyoroti faktor tata ruang kota sebagai penyebab utama bencana banjir di Purwodadi.

Ia menjelaskan bahwa secara geomorfologis, Purwodadi terletak di daerah seperti lembah, diapit oleh dua sungai besar: Sungai Lusi di sisi utara dan Sungai Serang di barat. Kedua sungai ini bertemu dan dibendung di Kecamatan Klambu.

“Ketika hujan deras turun di kawasan hulu secara bersamaan, banjir tidak terhindarkan. Apalagi sistem buka-tutup Bendung Klambu belum diperbaiki. Akibatnya, daerah bawah seperti Demak, Kudus, dan Pati justru diuntungkan, sementara Purwodadi menanggung dampaknya,” jelas Wahyu.

Lebih lanjut, ia menekankan pentingnya adaptasi terhadap bencana melalui desain bangunan yang lebih tangguh dan ramah lingkungan. “Kita bisa belajar dari rumah-rumah kayu tradisional yang berbentuk panggung, terutama di sekitar Sungai Tuntang. Model ini memungkinkan area resapan air tetap luas saat banjir, dan ketika kemarau, air tanah bisa terisi kembali,” paparnya.

Dari sisi material, Wahyu menyarankan penggunaan bahan bangunan dengan jejak karbon rendah yang dapat diproduksi ulang secara lokal dan berkelanjutan.


Diskusi yang berlangsung hangat ini menegaskan kembali pentingnya kolaborasi lintas iman dan kesadaran ekologis dalam menjaga bumi. Seperti pesan yang berulang kali disampaikan para panelis, merawat bumi adalah bagian dari merawat kehidupan itu sendiri. (kembara)

DotyCat - Teaching is Our Passion