Ini Kisah Warga Grobogan yang Merantau di Samarinda

Ratusan warga Grobogan, Jawa Tengah beramai-ramai merantau ke Samarinda, Kalimantan Timur. Sehari-hari mereka hidup dari penghasilan memulung barang-barang bekas. Berikut kisahnya.

GERIMIS merintis di Kota Samarinda, Sabtu (29/11) pagi. Langit tampak gelap ketika Tribun Jateng berkunjung ke Kelurahan Sidomulyo RT 11, Samarinda Ilir. Di sebidang tanah yang lapang, tepatnya di depan rumah ketua RT 11, puluhan warga menyambut. Rupanya, mereka tengah menanti kehadiran Tribun sejak pukul 07.00 WITA.

Wajah mereka tampak riang, meski mengenakan pakaian yang sedikit compang-camping. Semuanya juga mengenakan penutup kepala. Ada yang bertopi ada pula yang sekadar menutup kepalanya dengan kain. Mereka terlihat tengah menyiapkan gerobak. Tribun melihat, puluhan gerobak yang berukuran dua meteran itu terparkir rapi.

Seorang Ibu bernama Munarti (45) datang menghampiri. Ibu inilah yang mengumpulkan puluhan warga itu agar sedikit sabar menunggu. Menurut dia, seharusnya pukul 07.00 WITA tepat, mereka sudah mulai menyusuri jalanan di Kota Samarinda. Kata Munarti, puluhan warga tersebut bekerja sebagai seorang pemulung.

"Gerobak yang diparkir di sini ada 58. Sebenarnya jumlah kami ada ratusan. Hanya saja berpencar-pencar," kata warga asal Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah itu kepada Tribun Jateng.

Menurut dia, ratusan pemulung itu merupakan perantau dari Grobogan. Hampir semuanya bertetangga dan masih satu Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngaringan. "Ya ada juga dari kecamatan lain, tetapi hanya beberapa," katanya.

Munarti kemudian mengenalkan Tribun kepada seorang lelaki berjenggot yang datang menghampiri. Lelaki itu mengenalkan dirinya bernama Pardi (63), asal Kecamatan Wirosari, Grobogan. Dia mengaku, tinggal di Kota Samarinda selama lebih kurang delapan tahun. Dia datang ke Samarinda seorang. Anak-anaknya ditinggalkan di kampung halaman bersama sang nenek.

Pardi mengatakan, motivasinya merantau ke Samarinda memang untuk bekerja sebagai pemulung, mencari barang-barang rongsokan untuk dijual kembali. Beberapa tetangganya sudah terlebih dulu. Seingatnya, hal itu dilakoninya sejak 2006 lalu. Sebelumnya, dia bekerja sebagai tukang bangunan di sebuah proyek. Juga buruh tani yang kerjanya musiman. Namun, usia yang sudah renta membuah fisiknya melemah, sehingga harus banting setir mencari pekerjaan yang lain.

Baginya, tak ada pilihan lain selain memulung. Apalagi dia bertemu dengan sesama warga asal Grobogan di Samarinda, sehingga pekerjaan itu pun dijalaninya hingga sekarang.

Ketika disoal mengapa harus merantau, Pardi mengungkapkan, di Jawa terlalu sulit untuk mencari uang. Menurutnya, di Jawa banyak pengeluaran tanpa pemasukan pundi-pundi uang. Namun, di Samarinda meski pengeluaran banyak, tetap ada pemasukan. "Di Purwodadi kebutuhan hidup serba kurang. Di sini enak. Di sini biar sedikit, tetap ada pemasukan," kata lelaki yang paling tua di antara warga perantauan itu.

Pardi mengatakan, dia bersama para pemulung lainnya bekerja tak mengenal hari libur. Biasanya, mereka berangkat sekitar pukul 07.00 hingga 15.00. Terkadang juga ada yang sampai malam. Dia menyusuri jalanan sepanjang sungai Mahakam. Sementara yang lainnya memiliki rute sendiri-sendiri.

Dia mengatakan, dari hasil memulungnya, dia bisa meraup uang hingga Rp 80 ribu perhari. "Penghasilannya tak tentu. Kadang juga hanya dapat Rp 30 ribu sehari. Palagi kalau musim hujan seperti ini," katanya.
Pardi mengungkapkan, rasa kekeluargaan antarsesama perantau dari Grobogan sangat kuat di Samarinda. 
Dia mengatakan, terkadang jika ada teman yang sedang susah dibantu bersama-sama. "Ya, gotong royong bersama. Kekuarangan uang memang sudah pasti. Kami tak bisa bisnis lainnya, karena sekolah saja tidak pernah," katanya.
Sejumlah warga Grobogan yang merantau ke Samarinda mengajak serta anak-anaknya. Anak-anak itu juga ikut membantu bekerja. Beberapa di antaranya putus sekolah.

KEDATANGAN ratusan warga Grobogan Jawa Tengah di Samarinda sempat membuat kaget ketua RT setempat, Muchsen dan istrinya Halimah. Menurut ketua RT 11 Kelurahan Sidomulyo, Samarinda Ilir itu, setahun lalu rombongan pemulung tak sebanyak itu.

"Lama-lama kok jumlah gerobaknya semakin banyak. Mangkalnya juga di sini (di depan rumah)," kata Halimah sedikit heran.

Halimah justru prihatin lantaran beberapa anak yang diajak mereka tak bersekolah. Di antaranya adalah anak-anak Munarti (45).


Untuk mencukupi kebutuhan hidup, sehari-hari Munarti harus mendorong gerobak menyusuri jalanan Kota Samarinda. Jika ada barang bekas seperti plastik, botol dan sebagainya yang terlintas akan dipungutnya. Barang-barang itu lalu diangkutnya ke dalam gerobak. Dari pekerjaan itulah Munarti memeroleh sedikit uang.

"Saya sudah dua tahun ini tinggal di Samarinda. Saya datang ke sini sama anak-anak," katanya.

Munarti mengaku sedih, dua anaknya yang masih kecil kini tak bisa bersekolah. Uang yang diperolehnya dari kerja memulung tak mencukupi. Putranya yang bernama Andi Nur Kusuma (13) sudah lulus SD di Samarinda. Namun tak tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP. Begitu juga anaknya yang bernama Yulianto Prastio (11). Yulianto seharusnya kelas IV SD, tapi tak melanjutkan.

Munarti merasa sedih jika anaknya mengungkapkan keinginan melanjutkan sekolah di MTs Sulamiman Yasin Samarinda. "Kepinginnya anak-anak saya bisa sekolah. Saya kepingin anak-anak bisa jadi pegawai. Tapi apa daya," katanya.

Dia mengisahkan, datang ke Samarinda atas permintaan anak sulungnya. Anaknya seorang pekerja di truk-truk muatan. Anaknya itu lalu memintanya untuk menyusul. Lalu dia bersama dua anaknya yang masih kecil menyusul ke Samarinda.

"Saya dikasih uang untuk beli tiket naik kapal barang ke sini. Tapi anak saya yang sudah bekerja itu kecelakaan dan meninggal dunia," katanya sedih.

Tanpa anak sulungnya, Munarti pun harus bekerja sendirian dengan kemampuan seadanya. Suaminya sudah lama meninggal dunia.

Kini, Munarti tercatat sebagai warga RT 8 Kelurahan Sidomulyo Samarinda Ilir. Dia sudah membuat Kartu Keluarga (KK) di RT tersebut. "Saya dulu disuruh membuat KK di sini agar urusan sekolah anak gampang," katanya.

Namun, lantaran tak kuat dengan adanya gunjingan di sekitar,  akhirnya Munarti memilih pindah ke RT 11. Di sebuah kosan, dia tinggal berempat bersama kedua anak dan adik iparnya. (Pernah dimuat di Tribun Jateng)
sumber : http://srabilor.blogspot.co.id/2015/01/ini-kisah-warga-grobogan-yanf-merantau.html
DotyCat - Teaching is Our Passion